Oleh : Arif Gilang
Gambaran Besar
“Sabotase tidak ada kaitannya dengan kekerasan, baik terhadap kehidupan maupun terhadap hak milik. Sabotase tidak lebih dari pembiusan organisme produksi, ‘beberapa tetes obat tidur’ untuk membuat lawan tak berkutik” – Emile Pouget
Dalam tulisan ini, saya ingin sedikit memperkenalkan kepada kalian, para pembaca, mengenai apa itu sabotase pekerja, dan beberapa metodenya yang akan sedikit saya paparkan secara singkat.
Saya bukan bermaksud menanam kebencian, apalagi mendikte kalian untuk melakukan “aksi terorisme” melalui sabotase. Satu hal, sabotase bukanlah suatu kejahatan, tapi ia adalah senjata pertahanan bagi kelas pekerja, untuk merebut kembali hak-haknya.
Layaknya sebilah pisau, atau sebatang kayu, bahkan sekepal batu, kita semua tahu bahwa itu semua adalah hal-hal yang umum kita temui, dan tak ada kaitannya dengan, katakanlah, kekerasan. Jika memang ia digunakan untuk demikian, setidaknya ada dua posisi tentang bagaimana ia diperlakukan. Pertama, ia digunakan sebagai alat untuk menyerang, tapi di sisi lain, itu semua juga mampu menjadi senjata pertahanan yang tak main-main.
Bagaimana, sudah bingung ?
Pada intinya, sabotase pekerja adalah alat pertahanan bagi pekerja untuk memberikan sinyal kepada majikan, bahwa ada suatu hal yang dirasa tidak adil, terlalu merugikan pekerja, dan terlalu menguntungkan majikan. Lebih jauh, ia adalah ultimatum kelas pekerja untuk merebut kembali hak-hak mereka yang dirampas, dengan perhitungan dan ancaman yang sama sekali tak main-main.
Ingat, bahwa ketakutan mereka (majikan) kepada kita (pekerja) itu jauh lebih besar, ketimbang ketakutan kita pada mereka. Mereka tahu secara persis bahwa kita, sebagai pekerja, mempunyai posisi yang sangat vital bagi kelangsungan industri. Dan inilah yang harus kita sadari betul.
Bagian 1 : Tentang Sabotase
Secara umum, sabotase adalah perang gerilya kelas pekerja melawan kesewenang-wenangan majikan. Singkatnya, apabila pemogokan adalah perang terbuka, sabotase adalah perang gerilya. Dua aksi ini tak boleh saling terpisah, untuk menghindari para pengkhianat, pekerja oportunis, maupun pekerja cadangan yang telah disiapkan majikan untuk mengantisipasi pemogokan.
Sabotase bukanlah aksi coba-coba untuk menantang nyali, meski nyali sama sekali tak bisa terlepas dari aksi ini. Sabotase perlu kehati-hatian dan ketelitian, untuk menghindari terbongkarnya identitas pelaku, maupun hal-hal buruk lain yang tak diinginkan.
Sebisa mungkin, yang menjadi objek sabotase adalah hal-hal kecil, namun amat vital bagi kelangsungan proses produksi. Hal itu berguna supaya aksi ini tidak mudah tercium, namun mempunyai pengaruh yang sangat besar, mengingat ia adalah perangkat vital.
Sabotase tidaklah dilakukan untuk merugikan konsumen. Sebaliknya, ia sebisa mungkin harus memberikan sesuatu yang maksimal bagi konsumen, tapi menjadi ancaman bagi majikan. Meski dalam beberapa sektor industri hal ini cukup sulit dilakukan, tapi pada intinya, tujuan dari sabotase bukanlah untuk merugikan konsumen, melainkan majikan, sebagai musuh utama pekerja.
Sabotase adalah senjata ampuh bagi pekerja, untuk memberikan perhitungan dan ultimatum langsung yang tak main-main kepada majikan, ketika pekerja mengajukan tuntutan. Baik ia bersifat pragmatis, maupun jangka panjang.
Semisal, ketika pekerja menuntut perbaikan kondisi tempat kerja yang lebih sehat, maka pekerja bisa melakukan sabotase buka mulut kepada konsumen sebagai bentuk ancaman nyata bagi majikan, yang memaksa majikan untuk memenuhi tuntutan pekerja.
Sabotase adalah juga merupakan alat untuk mencapai keadilan dalam hubungan kerja upahan. Dengan logika “kerja yang buruk, untuk upah yang buruk”, maka ia telah cukup memperlihatkan wajah keadilan dari salah satu tujuan sabotase. Selain itu, kesadaran akan tanggung jawab juga secara organik akan tumbuh dalam logika ini. Ini bisa dilihat ketika upah semakin meningkat, maka seharusnya kualitas kinerja dari pekerja pun turut meningkat. Pun, sebaliknya. Demi keadilan.
Singkatnya, sabotase bukanlah merupakan suatu kejahatan. Ia adalah perangkat pertahanan pekerja ketika hak-hak mereka dirampas, melalui ultimatum langsung. Ia juga merupakan sarana lapangan dalam memperlihatkan keadilan dan tanggung jawab dalam hubungan kerja upahan, dalam bentuknya yang paling nyata.
Bagian 2 :Beberapa Metode Sabotase
Pada hakikatnya, sabotase membutuhkan kehati-hatian dan dilarang keras dilakukan secara serampangan. Saya pun setuju pada anggapan bahwa sabotase memiliki metode yang tak terbatas, dan ia tumbuh secara organik melalui pengalaman langsung dari para pekerja.
Dan masing-masing metode ini, meskipun memiliki tujuan yang secara garis besar sama, saya ingin sedikit menulis tentang bagaimana metode-metode ini dilakukan, beserta imaji yang membuntutinya tentang ancamannya terhadap majikan. Yang harus diingat, ini bukanlah bersifat panduan yang harus kalian percayai secara kaku. Saya lebih percaya bahwa sabotase akan terus tumbuh secara organik di tangan pekerjanya sendiri.
- Go Canny/ Ca’ Canny
Logika dasar dari metode ini ialah “kerja yang buruk, untuk upah yang buruk”. Logika yang sama ketika kita ingin membeli barang, semisal, sepatu impor, yang memiliki kualitas lebih unggul dari sepatu lokal. Tapi, ternyata uang kita hanya cukup untuk membeli sepatu imitasi buatan lokal, yang mempunyai kualitas yang lebih rendah dari yang kita inginkan. Maka, yang berhak kita dapatkan adalah sepatu yang sesuai dengan kemampuan kita membayarnya. Singkatnya, ketika kapitalisme hanya memandang pekerja hanya sebagai komoditas belaka, baiklah : berlakulah seperti komoditas ! - Memaksimalkan Produk
Metode ini bisa dilakukan oleh banyak sektor industri, utamanya produksi barang. Semisal, dalam pabrik pembuatan susu. Apabila menurut formula majikan campuran susu hanya 30%, maka pekerja bisa menyabot dengan mencampurkan susu dalam jumlah yang lebih banyak dari formula majikan. Yang pasti, jangan sampai hasil produknya malah berbahaya dan merugikan konsumen, tapi sebaliknya. Sabotase ini cukup ampuh untuk menampar majikan yang rakus, yang hanya peduli pada laba yang sebesar-besarnya, namun tidak terlalu mementingkan kualitas produk. Dan itulah yang dinamakan sabotase majikan. - Buka Mulut
Sabotase ini cukup ampuh untuk memberi ultimatum pada majikan. Baik untuk tuntutan pragmatis, maupun jangka panjang, metode ini mempunyai peluang besar untuk terpenuhinya tuntutan pekerja. Semisal, ketika posisi pekerja digantung dalam ketidakpastian sistem kotrak dan outschoutching, tetapi oleh pihak perusahaan kita dituntut untuk berkata bohong, bahwa kita adalah pekerja tetap. Biasanya, tak-tik ini dilakukan majikan ketika perusahaannya akan diaudit oleh lembaga independen, maupun dari pihak customer. Maka, kita bisa mengatakan yang sejujurnya tentang posisi kita, dan katakanlah bahwa kita dituntut untuk berbohong oleh majikan. Maka, dalam waktu singkat, maka nama baik perusahaan pun akan langsung ternodai, karena ulah mereka sendiri. - Mengikuti Aturan Tertulis Secara Kaku
Kita tahu bahwa sebagian besar aturan tertulis hanyalah formalitas belaka, dan hampir-hampir kurang relevan bagi kondisi di lapangan. Kita hanya cukup untuk menaati semua peraturan secara mendetail dan kaku untuk mengganggu proses produksi. Dengan terganggunya proses produksi, otomatis keuntungan majikan akan mengalami penurunan, dan itu cukup adil di hadapan para pekerja yang mereka bayar semurah-murahnya. - Pemogokan Mesin
Pemogokan massal, tanpa sabotase mesin, akan sangat berbahaya bagi tujuan awal pemogokan. Ia bisa menyebabkan seluruh upaya yang telah dilakukan selama pemogokan hanya menjadi sia-sia, dengan adanya para scab atau pekerja oportunis yang mengoperasikan mesin selama ditinggal mogok. Seperti yang telah terjadi pada pemogokan besar-besaran oleh VSTP di tahun 1923. Meskipun sebelumnya pemogokan liar terjadi dalam jumlahnya yang cukup besar, yakni, sekitar 13.000 orang yang tergabung dari Semarang, Pekalongan, Tegal, Madiun, Surabaya, Cirebon, dan basis-basis perkereta apian di Jawa. Tetapi, karena tidak dibarengi dengan sabotase, maka “pemogokan berjalan seperti bencana” (Bima Satria Putra, 2018, Perang yang Tidak akan Kita Menangkan, Salatiga, Pustaka Catut)
**
Barangkali, kemampuan menulis saya tentang sabotase hanya cukup sampai di sini, karena keterbatasan waktu dan tenaga, maupun pikiran.Tapi, saya masih percaya bahwa para pekerja akan mampu mengembangkannya sendiri di ranah kerjanya masing-masing secara organik.
Epilog
“Sabotase secara alamiah akan menghilang saat alasan bagi kemunculannya lenyap” – Walker C. Smith